Oleh: hardybreck | 9 November 2009

Kuingin Garuda Kembali Perkasa

Memisahkan benci pada orang

Memisahkan benci pada sistem

Alangkah Susah

Apakah orang telah jadi sistem

Apakah sistem telah jadi orang

Membedakannya payah

Aku tak bisa benci pada orang

Tapi sistem mesti dibongkar ulang

Betapa lelah

Taufik Ismail, 1998

Puisi diatas berjudul ‘Alangkah Betapa’, dan sepertinya ditulis taufik Ismail ketika batinnya bergolak menghadapi gelombang perubahan yang kita kenal dengan Reformasi. Satu Dasawarsa lebih setelah puisi ini ditulis, kita (kata ini saya pakai karena sebagian besar anak bangsa ini memang merasakannya) menghadapi situasi yang bisa dikatakan serupa. Hampir sebagian besar rakyat di negara ini menginginkan adanya perubahan besar pada institusi penegak hukum yang ada di negeri ini. Kita semua sudah tahu bahwa berita media masa belakangan ini dipenuhi oleh konflik antara dua institusi yang diberi istilah beken dengan menggunakan nama dari dunia reptil. Entah apa tanggapan dari para binatang pemilik nama seandainya mereka punya organisasi massa yang bisa melakukan protes di jalanan, bisa-bisa kita semua yang merasa perlu terlibat dalam situasi sekarang ini memilih diam di rumah karena takut ataupun jijik kepada demonstran yang mengamuk di jalanan. Pun konflik yang menyeret nama dua keluarga reptil tersebut melambung jauh meninggalkan heboh Tokek (keluarga reptil lainnya) yang mampu memberikan efek langsung berupa jutaan rupiah tunai bagi mereka yang meniagakannya. Tentu saja hal ini bergantung pada mekanisme pasar yang ada.

Kembali pada konflik dari keluarga reptil yang saya sebutkan terlebih dahulu, ternyata menyeret pula keluarga lain dari dunia reptil yaitu ular, keluarga dari dunia pengerat yaitu tikus dan keluarga-keluarga burung yaitu beo dan garuda. Ah mudah-mudahan keluarga binatang tersebut tidak protes karena namanya disebut. Berikut ini saya mencoba mengaitkan konflik pada keluarga reptil dengan keluarga-keluarga binatang tersebut.

Keluarga ular yang kebanyakan terkenal karena memiliki bisa mematikan dan sering dikonotasikan dengan sifat licik selalu menggunakan setiap kesempatan sekecil apapun untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Mewakili keluarga pengerat, para tikus terlalu cerdik untuk dianggap berdiam diri saja mengikuti konflik heboh keluarga reptil. Setelah mengadu domba dua keluarga yang anggotanya terkadang merupakan partner in crime si tikus, mereka mungkin saat ini sedang menggali lubang-lubang baru untuk mengecoh para keluarga reptil, atau malah duduk santai mengerat batangan-batangan emas di pojok brankas. Mewakili keluarga burung, si beo berceloteh lancar mengikuti suara-suara yang biasa didengarnya tanpa bisa mencerna apakah itu suara yang benar-benar ingin keluar dari hatinya. Si beo pun semakin bingung karena terlalu banyak suara yang mesti ditiru dari konflik dari dunia reptil tersebut. Nun jauh disana sang Garuda terabaikan, walaupun seluruh angkasa dikuasainya, setiap jengkal daratan tidak pernah lepas dari tatapannya namun konflik keluarga reptil tersebut tidak kuasa dibendungnya. Aksi para ular pun kini luput dari cengkeraman cakar-cakar kokohnya, begitu pula si tikus yang seharusnya tidak berdaya dalam tatap matanya kini berpesta pora di tempat yang aman. Keinginan untuk terbang pun terlupakan karena dia terhanyut dalam konflik keluarga reptil yang menyeret keluarga binatang yang lainnya.

Cerita rekaan diatas bisa dikatakan sebuah upaya mengaitkan konflik diantara keluarga binatang yang mengada-ngada tentunya. Namun kembali pada puisi “Alangkah Betapa” karya Taufik Ismail diatas, kita semua menginginkan adanya perubahan sistem pada institusi penegak hukum di negeri ini. Betapa lelah tentunya ketika kita harus memisahkan individu dan institusi dari sistem yang ada sekarang. prasangka terhadap individu terkadang menyeret pula institusi tempatnya berkarya. Bagai istilah karena nila setitik rusak pula susu sebelahnya, opini publik pun mengarah pada institusi tempat individu tersebut bernaung. Satu atau beberapa individu terlibat, maka institusinya pun dibawa-bawa. Entah karena solidaritas, sistem yang sudah terbentuk demikian ataupun rasa jenuh terhadap Institusi (lebih kepada nila yang setitik tadi). Sayapun merasa kepayahan untuk mengikuti drama panjang konflik keluarga reptil ini, rasa jenuh dan tidak percaya selalu membayangi. Namun betapapun lelahnya itu, semoga semua ini berakhir dengan memberikan kebaikan bagi kita semua. Semoga terbentuk suatu sistem baru yang benar-benar memberikan kepercayaan bagi kita semua di wilayah jelajah terbang sang garuda. Doa terakhir saya untuk sang Garuda adalah semoga dia dapat terbang tinggi menunjukkan keperkasaannya keseluruh penjuru mata angin.

Nb : Ternyata peribahasa yang benar adalah ‘karena nila setitik rusak susu sebelangga’. Maafkan kesengajaan saya tadi.

Salam.


Tanggapan

  1. Wah…, saya di tim Bunglon, cuma bagian belakang layar 🙂

  2. Nah ini dia tim yang paling berbahaya, rupanya lolos dari pengamatan he hee..

    • Lha, Tim Bunglon (aka Gecko) kan lebih tua dari isu itu, he he 🙂

      • Pantesan bisa ngelak terus, ternyata pengalamannya dah segudang ;)).

  3. wah keren analoginya Bro. kayaknya nulis sambil kesurupan ya? wakakaka…teruslah beropini

    • Ha ha haa iya nich, selalu tengah malem nulisnya =)).


Tinggalkan Balasan ke Cahya Batalkan balasan

Kategori